Social Dimension in the Managerial Ability of the Prophet Muhammad as an Inspiration for Educational Personnel
Hisam Sidqi1, Safira Elfadhilah2, Sapta Anugrah3
1Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Agama dan Mistisisme, Ahlul Bayt International University, Tehran, Iran
2Dosen Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Mu'amalah), Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang
3 Ketua Studie Club ‘Gerak Gerik Sejarah’
1hisamsidqi2760@gmail.com, 2safiraelfadhilah.se@gmail.com, 3ggsejarah@gmail.com
PENDAHULUAN
Rasulullah diyakini lahir dilahirkan pada 570 dalam tahun Masehi sebagai seorang yatim, karena Abdullah, ayahnya meninggal dua bulan sebelum Muhammad menatap dunia untuk pertama kalinya. Ia adalah seorang yatim yang terlahir dari sebuah keluarga terpandang di tengah penduduk Mekkah. Muhammad dibesarkan beberapa waktu di bawah perlindungan kakeknya yang bernama Abdul Muthalib, meski akhirnya ibunya yang merawat langsung. Abdul Muthalib merupakan seorang tokoh yang memegang kekuasaan sebagai “Syarif” pada salah satu dari 10 jabatan dengan kewenangan masing-masing di Mekkah. Jabatan-jabatan itu antara lain : Azlam, Diyat, Hijaba, Khaimmah, Khazina, Liwa, Nadwa, Rifada, Sifarah, dan, Sihaya. Kedudukan Abdul Muthalib-lah yang lebih terhormat, karena ia menjabat sebagai Rifada yang kewenangannya ialah mengurus atau menarik pajak untuk menyediakan makanan bagi orang-orang miskin yang mengunjungi Kakbah sebagai tamu-tamu tuhan.[1] Latar belakang ini penting untuk dipaparkan karena kelak Muhammad akan memimpin umat beragama yang sangat besar. Bani Hasyim, kabilahnya telah begitu erat dengan manajemen kepentingan orang banyak yang kaitannya adalah dengan Kakbah.
Pada masa awal kehidupan Muhammad, tampaknya Kakbah dihormati sebagai tempat suci bagi Allah, Tuhan Tinggi meski di saat yang sama ada sekitar 360 berhala yang disusun mengelilingi Kakbah. Mungkin itu mewakili jumlah hari dalam setahun. Ini menandakan bahwa Allah yang mana Kakbah didedikasikan kepada-Nya adalah sama dengan Tuhan yang disembah oleh monoteis, yaitu suku-suku Arab utara di perbatasan Kekaisaran Byzantium yang telah menjadi pemeluk Kristiani. Namun mereka tetap sering melakukan ziarah “haji” bersama kaum pasukan menuju Kakbah.[2]
Invasi Pasukan Gajah Abrahah merupakan ancaman petaka yang telah berlalu dengan kekalahan akibat peran utama Sijjil (Batu Neraka) yang dijatuhkan oleh burung-burung “Ababil” dalam kepercayaan Islam. Muhammad dari masa kecil tidak terlepas dari nestapa hidup yang kelak menjadikannya Nabi sekaligus “manajer” terbaik bagi umat yang ia pimpin. Kualitas sedemikian itu telah tertempa bahkan sejak usia kanaknya. Setelah ia mencapai usia enam tahun, Aminah, ibunda Muhammad membawanya dalam perjalanan jauh dari Mekkah ke Madinah untuk mengunjungi keluarganya dari Bani Najjar. Muhammad dan ibunya menetap beberapa lamanya di tengah-tengah keluarga itu dengan mendapat penghargaan dan perilakuan yang sangat baik dari segenap tetangga. Ketika dalam perjalanan kembali ke Mekkah, ibunya jatuh sakit lalu meninggal dunia dan dikuburkan di suatu tempat yang bernama Abwa. Setelah ibunya dikuburkan orang banyak, tinggal Muhammad bersama pengasuhnya di dekat kuburan itu, terdiam dan tidak berkata-kata. Dia menjadi yatim piatu pada saat usianya yang masih sangat kecil. Ummu Aiman, pengasuhnya tidak dapat menahan tangis tatkala Muhammad bertanya, “Hai Ummu Aiman, saya sudah kehilangan ibu dan ayah. Kehilangan dua naungan yang menaungi kepalaku, sedang aku masih dalam perjalanan antara dua negeri, maka kemanakah seharusnya aku menuju sekarang? Apakah meneruskan perjalanan ke Mekkah atau kembali ke Madinah ?”.[3]
Nabi Muhammad lalu memilih untuk pergi ke Mekkah, ke tempat ia dilahirkan dahulu dan secara penuh berada dalam pengasuhan Abdul Muthalib. Kakeknya, ayah dari mendiang ayahnya menunjukkan cinta yang luar biasa kepada cucunya yang kini telah menjadi yatim piatu, serupa dengan cintanya kepada Abdullah. Konon dahulunya Abdul Muthalib pernah bersumpah untuk mengorbankan anak yang paling dicintainya yaitu Abdullah untuk dewa-dewi Kakbah. Kemudian korban tersebut diperlunak menjadi korban 100 ekor unta.[4] Betapapun kisah itu menampilkan corak Jahiliyah yang khas, namun bisa diasumsikan bahwa digantinya korban menjadi hewan ialah disebabkan desakan oleh masyarakat setempat mencintai sosok Abdullah selaku anak dari figur Abdul Muthalib yang juga tokoh Quraisy. Singkatnya, Muhammad merupakan sosok yang memiliki nasab mulia dan disayangi oleh orang-orang dari kaumnya.
Melihat konstruk sosial dan pribadi yang membentuk diri Rasulullah tersebut, maka didapatilah dua fakta mendasar yakni : Pertama, beliau adalah sosok paripurna sebagai insan terbaik pilihan Allah serta diturunkan wahyu yang menjadi mukjizatnya yakni Al-Quran, dalam pada itu pula segala perbuatannya dibimbing langsung oleh Allah dan menjadikan tindakannya sebagai sebaik-baiknya teladan. Kedua, secara personal beliau adalah pribadi yang menonjol di tengah masyarakatnya, sebagai individu yang harus berperan dalam relasi sosial, yang mana sejak kecil harus melewati kondisi kehidupan tidak biasa. Maka amat wajar apabila diperlukan sebuah kajian yang dapat mengungkap sosok Rasulullah dari segi sosial, sehingga dapat terlihat aspek-aspek yang ikut dapat mengungkap mengenai eksistensinya di tengah kehidupan bermasyarakat. Tentu hal ini tidak kemudian melepaskan keutamaan beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul, namun aspek relasi antar manusia dalam kehidupannya akan lebih ditekankan. Sebagai sosok besar dalam sejarah umat Islam dan bahkan umat manusia, manfaat atas penelaahan kepribadian Rasulullah memiliki manfaat yang luas, termasuk dalam bidang pendidikan ataupun yang menyangkut masalah manajerial kependidikan. Sehingga penelitian ini akan berusaha menjawab rumusan masalah: bagaimana dimensi sosial dalam kemampuan manajerial Rasulullah yang inspiratif bagi insan-insan pendidikan?
METODE PENELITIAN
Adapun untuk memperoleh pemahaman dan jawaban atas rumusan masalah yang menyoal dimensi sosial dalam kemampuan manajerial Nabi Muhammad Saw bagi insan pendidikan tersebut, maka diperlukan sebuah metode dalam penelitian ilmiah ini. Meskipun penelitian ini menghasilkan data yang dinarasikan, namun tulisan ini tidak sekedar bersifat deskriptif, di mana penelitian deskriptif cenderung merupakan akumulasi data dasar semata-mata yang tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, mendapatkan makna, ataupun implikasi.[5] Menurut tempat dilaksanakannya, maka penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) karena data yang diambil berupa dari buku-buku, majalah, atau dokumen-dokumen yang lain.[6] Berdasarkan tujuannya yakni untuk mengungkap peristiwa-peristiwa serta merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan objektif melalui pengumpulan data, evaluasi yang diperoleh dari berbagai sumber, sehingga dapat ditetapkan sebagai fakta-fakta untuk mencapai sebuah kesimpulan, maka penelitian ini tergolong sebagai penelitian historis.[7] Meski penelitian historis kerap dianggap penelaahan kepustakaan, namun cara pendekatan historis lebih tuntas dengan mencari informasi dari sumber yang lebih luas.[8]
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keyatiman dalam diri Muhammad telah menumbuhkan sifat “rahmat” atau kasih sayang. Namun, rahmat Muhammad tidak serta merta merupakan reaksi dari keyatimannya, tapi merupakan aksi yang sesuai dengan eksistensinya yang telah “disambut” dengan keyatiman. Rahmat itu adalah milik orang-orang kuat yang penuh inisiatif, bukan rahmat orang-orang lemah yang putus asa. Siapakah orang yang lebih kuat dari seorang yatim yang sendirian menghadapi alam dan sendirian pula bangkit memikul beban dan tanggung jawabnya? Sementara pengasuhnya, satu persatu meninggalkannya untuk memberinya peluang tampil sebagai seorang lelaki, untuk mengisi semua kekosongan yang ada, agar tumbuh dengan sendirinya seperti pohon yang tinggi, agar ia ditopang dan didukung oleh (sifat) “kebapakan” dari diri pribadinya sendiri. Memang tepat, keyatiman bisa menjadi sumber utama dari keagungan jika yang menerima keyatiman itu adalah seorang anak yang berkesiapan besar dan hal ini sudah terjadi pada diri Nabi Muhammad.[9]
Bermodalkan sifat Rahmat itu, Muhammad bertumbuh menjadi sosok penting, di mana ia banyak berinteraksi di tengah orang banyak. Ia yang kemudian menerima wahyu (kenabian) sebagai Rasulullah pembawa risalah Tauhid (monoteisme), pastinya memerlukan kepribadian dan kompetensi yang mumpuni, mengingat akan kewajiban besarnya selaku penghulu umat terbaik hingga akhir zaman. Tanpa menafikan pengaruh tuntunan keilahian secara langsung dari Allah kepadanya selaku Rasul. Kita perlu melihat sosok Muhammad dari sisi pribadinya sebagai insan yang berperan dalam dimensi sosial. Bukti-bukti dari berbagai catatan sejarah kehidupan Muhammad, sejatinya memastikan bahwa ia adalah seorang yang mempunyai kemampuan manajemen yang relatif lengkap, hal ini ditunjukkan dengan rangkaian peristiwa yang dilaluinya serta telah terekam secara historis:
A. Pekerja dan Pedagang
Muhammad bin Abdullah yang dilahirkan sebagai seorang yatim sudah memperoleh tanggung jawab untuk memenuhi keperluannya secara pribadi dari usia kanak. Pada awal remaja, Rasulullah tidak mempunyai pekerjaan tetap, hanya saja beberapa riwayat menyebutkan beliau biasa menggembala kambing di kalangan Bani Sa’ad dan juga di Mekah dengan imbalan uang beberapa dinar. Muhammad adalah “Orang Terpercaya” (Al-Amin) yang ia buktikan sejak bekerja menjadi penggembala upahan milik penduduk Mekkah.[10] Pekerjaan sebagai seorang gembala dapat ditemukan dalam kisah para nabi Allah. Dikisahkan bahwa Musa AS pernah diminta oleh Nabi Syu’aib AS bekerja sebagai seorang gembala untuk menjadi mahar atas perkawinan antara Musa dan putrinya, kurang lebih 8 hingga 10 tahun.[11] Dengan kata lain, Nabi Syu’aib juga seorang penggembala yang memiliki banyak ternak. Selanjutnya, Nabi Isa AS juga bekerja sebagai penggembala kambing (kemungkinan besar ialah berjenis domba-Pen).[12] Pekerjaan menggembala nampaknya, selain menjadi pilihan yang diambil para nabi dan rasul, turut menjadi sebuah “design” yang ditetapkan Allah Rabb Al-Alamiin, karena pekerjaan menggembala membutuhkan kesabaran, keuletan, dan ketelitian sehingga menempa pribadi para manusia pilihan berkemampuan menghadapi segala rintangan.
Setelah menjadi penggembala dan terbukti mampu menjaga amanah, “karier” profesi Muhammad berlanjut sebagai pelaksana/pembantu perniagaan, sehingga kelak janda kaya raya bernama Khadijah binti Khuwailid, bukan hanya menjadikannya rekan dagang saja melainkan pula jatuh hati dan bersuamikan beliau.[13] Dalam riwayat, Ibnu Ishaq menuturkan tentang Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang, terpandang, dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang-orang menjalankan barang dagangannya, dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka. Sementara orangorang Quraisy memiliki hobi berdagang. Tatkala Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas dan memuliakan akhlak beliau, maka dia pun mengirimkan utusan dan menawarkan kepada beliau agar berangkat ke negeri Syam untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia berikan kepada pedagang yang lain. Beliau harus pergi bersama seorang pembantu yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran ini, maka beliau berangkat ke negeri Syam untuk berdagang dengan disertai Maisarah.
Bisa kita pahami di sini bahwa Rasulullah adalah sosok yang dinamis demi menggapai kemapanan hidup. Jelasnya, uang yang ia peroleh dari menggembala turut dikembangkannya menjadi modal usaha. Sebelum menjadi rekan kerja Khadijah RA, Muhammad telah belajar berdagang sejak kecil. Awal mulanya disebabkan ketika masa kanaknya timbullah kejadian yang disebut “Ghazwatul” yaitu rangkaian perang yang terjadi beberapa tahun di ‘Ukaz, terletak di antara Tayef dan Nakhla (tiga hari perjalanan dari Mekkah), antara persekutuan kaum Quraisy dan Bani Kinanah di satu pihak melawan kaum Qaisy Ailan (kadang disebut Qais/cabang dari bani Mudhar) di lain pihak. Tetapi, saat memasuki bulan Dzulqa’dah, bulan yang dahulu juga dianggap suci oleh bangsa Arab Jahiliyyah, ‘Ukaz berubah menjadi semacam festival, tempat “olimipia”-nya bangsa Arab yang datang mengalir dari seantero negeri untuk beradu membaca syair, pertunjukan sandiwara, dan segala dendam-permusuhan antar kabilah dikubur sementara. Sayangnya kebiasaan buruk masyarakat kala itu telah menodai bulan suci dan festival ‘Ukaz dengan penampilan wanita-wanita penari yang merangsang “putra padang pasir” dari tenda ke tenda, perjudian, mabuk-mabukan dan hingga diakhiri pertengkaran serta pertumpahan darah. Saat terjadi kebobrokan moral seperti itu, Muhammad menemani paman dan keluarganya pada salah satu perjalanan perdagangan ke Syria atau Syam.[14] Sederhananya, saat orang-orang kebanyakan menghambur-hamburkan uang demi kemaksiatan, Rasulullah justru menempa dirinya dengan pengalaman yang membangun aspek ‘entrepreneurship’ (kewirausahaan).
B. Aktivis Sosial (Sosiawan)
Kualitas kepribadian Muhammad menjadikannya dipercaya untuk menyelesaikan persengketaan antar-klan Suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakkan Batu Hajar Aswad ke tempatnya setelah renovasi Ka’bah. Muhammad Al-Amin, begitulah orang menghormatinya, dengan adil mendistribusikan prestise (kebanggan/kehormatan) itu dengan menghamparkan kain agar keempat ujungnya dapat dipegang oleh setiap pemuka klan, guna mengangkat dan meletakkan batu tersebut pada sebuah dudukan di pojok bangunan itu.[15] Sebuah versi lain menyebut ketika terjadi perselisihan perihal peletakan Hajar Aswad, mereka lalu mencari penengah. Disepakati bahwa yang akan mendapatkan kesempatan itu adalah orang yang pertama kali keluar dari salah satu jalan di kota Mekkah. Ternyata yang muncul adalah sosok Muhammad, sehingga ia menjadi penengah. Mereka kemudian menyampaikan kesepakatan yang telah dibuat tersebut kepada Muhammad. Menanggapi hal itu, Muhammad tidak mengedepankan egoismenya untuk meletakkan Hajar Aswad dengan sendirian/seorang diri, meskipun sebenarnya ia berhak dengan kesepakatan yang telah dibuat. Muhammad justru memilih untuk menyatukan kabilah-kabilah yang hampir terpecah karena perselisihan peletakan Hajar Aswad tersebut.[16]
Tidak hanya dalam berniaga dan mengurusi permasalahan kultural, Muhammad Al-Amin turut berperan dalam lingkup sosial yang lebih luas. Suatu hari pernah terjadi perampokan di jalan raya Mekkah. Peristiwa itu menimpa seorang penyair terkenal dari Bani Kair bernama Abu Tamahan pada waktu ia menjadi tamu Abdullah bin Jadan, seorang pemuka Quraisy. Maka Muhammad Al-Amin mengadakan atau membentuk perserikatan antara Keluarga (Bani) Hasyim, Keluarga Muthalib, dan anggota-anggota terkemuka dari keluarga Zukhrah dan Ta’im bernama “Hilful Fudhul”. Tujuan dari perserikatan itu adalah membela setiap orang dari segala perbuatan tidak adil dan perbuatan jahat lainnya, baik yang menimpa orang Mekkah atau orang asing, baik orang merdeka atau budak. Versi lain menyebutkan, bahwa pembentukan perserikatan ini disebabkan ketika Muhammad berusia 15 tahun, pecah perang antara Quraisy dan suku Hawazin yang menyebabkan kekerasan dan balas dendam berlarut-larut selama empat tahun.[17]
Telah maklum adanya bahwa realitas kehidupan manusia tidaklah tunggal akan tetapi plural (majemuk). Kemajemukan tersebut meliputi suku, agama, budaya, bahasa, dan lain sebagainya. Suatu ketika ada jenazah seorang Yahudi lewat di hadapan Rasulullah Saw, kemudian beliau berdiri dan alasannya berdiri adalah untuk menghormati karena sama-sama sebagai manusia. Selain itu, wujud nyata dari teladan beliau dalam toleransi adalah terbentuknya Piagam Madinah. Piagam tersebut dibuat berdasarkan kesepakan antara kaum muslimin dengan semua suku yang ada di Kota Madinah, utamanya dengan orang-orang Yahudi Madinah. Beliau mengumpulkan mereka dalam satu komunitas orang-orang beriman, namun menoleransi berbagai perbedaan antar kedua agama itu. Kaum muslim dan Yahudi memiliki status yang sama. Jika seorang Yahudi bersalah, maka ia harus diluruskan baik oleh muslim maupun Yahudi. Demikian pula sebaliknya. Ketika berperang melawan kaum musyrik, mereka harus bersatu padu; untuk perdamaian, baik Yahudi ataupun Muslim tidak dibeda-bedakan, melainkan perdamaian untuk semua.[18]
C. Pemimpin Politik & Panglima Perang
Muhammad telah mempunyai kesadaran akan bidang perpolitikan bahkan sebelum dirinya diangkat sebagai seorang Rasul. Hilful Fudhul, yang diilhami dari presedensi sejarah Mekkah dengan semangat proto-nasionalisme yakni ketika tiga orang bangsa Jurhum yakni Fadhl, Faral Mufadhal, dan Fudhail membentuk perserikatan yang hampir serupa di masa silam, digunakan oleh Muhammad Al-Amin membendung usaha seorang pemuka Quraisy bernama Utsman bin Al-Huwairits - seorang pemeluk Kristiani - yang berambisi memasukkan tanah Hejaz ke dalam kekuasaan Romawi Timur dengan disokong secara keuangan oleh kekaisaran tersebut. Usaha itu dapat digagalkan karena campur tangan Hilful Fudhul. Utsman bin Al-Huwairits lalu melarikan diri ke Suriah dan meninggal disana.[19] Ini artinya, sejak di usia mudanya, bahkan sebelum ia menerima wahyu kenabian, Muhammad merupakan sosok yang integral dengan masyarakat sekitar; ia tak hanya menjadi komponen masyarakat saja, tetapi juga menghadirkan solusi terbaik atas permasalahan komunal yang tengah dihadapi.
Pencapaian gemilang Rasulullah Saw di bidang politik yang sangat kesohor tentunya adalah ketika ia telah berhijrah dan tinggal di kota Madinah. Sebelum menyandang nama itu, Madinah dikenal dengan nama ‘Yatsrib’. sebagai tempat ditandatanganinya sebuah konstitusi tertua yang disebut Piagam Madinah. Intisari yang terdapat dari kata Madani itu adalah pengakuan atas eksistensi pemeluk agama-agama selain Islam seperti Yahudi, Kristiani (dalam Amandemen I), serta Majusi (dalam Amandemen II) dalam Piagam Madinah.[20] Betapa hebatnya jika kita pelajari lebih jauh, meski “Piagam Madinah” belum dapat sepenuhnya disebut sebagai sebuah “Konstitusi” dalam artian modern, bahkan Konstitusi-konstitusi bersejarah seperti milik Amerika, Prancis, dan Inggris, namun secara prinsipil Piagam Madinah setidaknya memenuhi beberapa hal. Pertama, piagam ini tertulis dan menjadi yang pertama dalam sejarah dunia. Kedua, Mukadimah (Pembukaan) Piagam Madinah menegaskan bahwa piagam ini merupakan perjanjian masyarakat di antara warga yang mendukungnya yaitu Muhajirin (Pengungsi Muslim Mekkah), Anshar, Yahudi, dan lainnya; prinsip ini jauh mendahului pendapat Hobbes dan Locke dari abad ke-17 dan Rosseau dalam abad ke-18 dengan bukunya “Le Contrat Social”. Ketiga, pembentukan “ummah” yang tercantum dalam Pasal 1 dari piagam itu bertujuan membentuk “masyarakat baru” yang menghimpun kaum Muslimin, Yahudi, dan lainnya sebagai warga negara.[21]
Tidak hanya dalam konteks perdamaian dan persatuan, pribadi Rasulullah ditempa dengan begitu hebatnya melalui pengalamannya dalam kancah peperangan yang tidak sedikit. Rangkaian pertempuran yang berkecamuk ditujukan oleh kaum kafir-musyrikin Quraisy serta sekutu-sekutunya untuk menjungkalkan posisi Muhammad Saw yang berkedudukan di Madinah. Secara kronologis rangkaian peristiwa pertempuran-pertempuran besar dalam sejarah Islam adalah di tahun 624 M, kaum Muslim mengalahkan tentara Mekkah secara dramatis dalam Perang Badar. Tahun 625 M Muslimin menderita kerugian besar di tangan tentara Mekkah dalam Perang Uhud, di luar Madinah. Suku-suku Yahudi Qainuqah dan Nadir diusir dari Madinah karena bekerja sama dengan pihak Mekkah. Kaum Muslimin di tahun 627 M menang telak atas tentara Mekkah dalam “Perang Parit”(Perang Khandaq), disusul oleh pembantaian kaum lelaki Suku Yahudi Quraizah yang berkomplot dengan Mekkah melawan kaum Muslimin. Sebuah inisiatif damai yang berani dari Muhammad menghasilkan Perjanjian Hudaibiyah tahun 628 M antara Mekkah dan Madinah. Muhammad Saw kini dipandang sebagai orang paling berkuasa di Arab dan menarik banyak suku Arab ke dalam konfederasinya. Pihak Mekkah melanggar Perjanjian Hudaibiyah pada 630 M. Rasulullah berjalan ke Mekkah bersama sepasukan besar tentara Muslim dan sekutu mereka. Mekkah mengakui kekalahannya dan secara sukarela membukakan pintu bagi Muhammad, yang mengambil alih kota itu tanpa pertumpahan darah dan tanpa memaksa siapapun untuk beralih memeluk Islam.[22]
D. Pendidik yang Humanis
Dalam ajaran Islam kita pasti selalu mendengar mengenai kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada sebuah kelompok yang disebut sebagai “Sahabat Rasul”. Memang, di masa kini kerap ditemukan silang pendapat yang menyoal tentang pengertian atas orang-orang yang disebut sebagai Sahabat Rasul tersebut. Umumnya, para Ulama mendefinisikannya sebagai semua orang Islam (telah memeluk agama ini) yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad Saw, yang mana mereka hidup pada zaman kerasulannya. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa “Sahabat Rasul” adalah semua muslimin maupun muslimat yang hidup pada zaman kerasulan Nabi Muhammad Saw dan pernah berjumpa dengannya.[23] Bahkan terdapat seorang Ulama klasik kontroversial yang bernama Al-Waqidi (wafat 207 H) meyakini bahwa para ahli ilmu menyatakan bahwa sahabat adalah setiap orang yang melihat Nabi sedangkan ia dalam keadaan baligh, Muslim, mengerti urusan agama, dan ia rela dengannya. Pengertian atas “Sahabat Nabi” oleh Al-Waqidi tak pelak menjadi sangat kontroversial terutama dalam aspek “Aqil Baligh”, sebab syarat ini bisa mengeluarkan Ibn Abbas, Hasan, Husein, dan Ibn Zubayr dari kategori sahabat.[24]
Tidak begitu penting dalam membahas definisi manakah yang lebih benar dalam menerangkan istilah “Sahabat Nabi”, namun yang terpenting dalam poin ini adalah sebutan “Sahabat” (Arab: Sahabah) kepada orang-orang yang menjadi pengikutnya. Berbeda dengan Yesus yang dihormati sebagai seorang “Guru” oleh murid-muridnya, secara tidak langsung Rasulullah Saw menempatkan dirinya dengan lebih egaliter di tengah para pengikutnya. Hal ini sekaligus membuat Nabi Muhammad Saw menunjukkan bagaimana dirinya menggagaskan sebuah bentuk “manajemen pendidikan” meski dalam arti terbatas di awal dakwahnya sebagai seorang Rasul. Setelah berhasil mendakwahkan ajarannya di lingkungan rumah tangganya, Muhammad meluaskan ruang dakwah dan memerlukan rumah yang lebih representatif, aman, dan nyaman. Tempat tersebut harus aman karena dalam periode tiga tahun dakwah rahasia, agama Tauhid ini masih bergerak “di bawah tanah” agar tak terlihat oleh mata Quraisy yang hegemonik. Rumah tersebut adalah milik Arqam bin Abi Arqam yang luas dan terletak di Bukit Shafa.[25] Rumah Arqam yang disebut “Daarul Arqam” hanya salah satu dari sekian banyak halaqah-halaqah (kelompok kajian) yang diadakan beliau di rumah para sahabat, tentunya digelar secara sembunyi-sembunyi, namun menjadi yang paling terkenal.[26] Sebutan yang dipakai bukan “Baitul Arqam” melainkan Daarul Arqam, yang bermakna bahwa rumah Arqam bukan saja sarana berdakwah dan pembinaan umat di masa awal, tetapi dijadikan sebagai sepetak tanah di bumi ini oleh Rasulullah yang sudah memiliki mandat dari Allah untuk menata manusia berdasarkan hukum Allah semata.[27]
Nabi Muhammad Saw tidak saja menunjukkan pentingnya berkumpul di suatu tempat bagi sejumlah orang yang ia pimpin untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar dalam hal keagamaan, tapi begitu jelas bahwa beliau mengutamakan keselamatan para pengikutnya. Terbukti, setelah masa dakwah sembunyi-sembunyi, tidak lagi begitu terdengar peran dari Daarul Arqam tidak begitu terdengar lagi. Dengan turunnya wahyu yakni QS. Al-Hijr : 94 yang artinya, “Maka jalanilah apa yang telah diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang Musyrik”, maka Nabi Muhammad menyiarkan Agama Islam secara terang-terangan.[28] Fase sejarah ini merupakan suatu titik yang membuat Rasulullah tampil langsung ke muka umum menyampaikan ajaran yang berasal dari wahyu-Nya (Allah Swt) serta bersama-sama dengan para pengikutnya juga harus menanggung konsekuensi langsung yang datang akibat penolakan dari kaum elit Musyrikin Quraisy; ia tidak menjadi sosok yang hanya berada dalam posisi memberi perintah, akan tetapi bahu-membahu bersama para pengikutnya mendakwahkan kebenaran dengan keberanian, ketegaran, serta merasakan pengorbanan secara langsung di tingkat bawah.
Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menyatakan bahwa pembinaan pendidikan Islam pada masa Makkah meliputi: 1) Pendidikan Keagamaan. Yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata jangan dipersekutukan dengan nama berhala; 2) Pendidikan Akliyah dan Ilmiah. Yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta; 3) Pendidikan Akhlak dan Budi pekerti. Yaitu Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid; 4) Pendidikan Jasmani atau Kesehatan. Yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat kediaman.[29]
Berkenaan dengan tempat ibadah yang disebut sebagai “Masjid”, secara harfiah berarti “Tempat Bersujud”. Saat terjadi peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah, di tengah perjalanan itu Rasulullah Saw dan Abu Bakar yang tengah kelelahan tidak langsung ke kota Madinah, tetapi berhenti beberapa hari di rumah keluarga Amr Ibn Auf di desa Quba’, di mana Nabi bersama Umat Islam dapat mendirikan Masjid yaitu Masjid Quba.[30] Setibanya di Madinah, bersama-sama dengan masyarakat, didirikan sebuah bangunan berdinding sederhana dari batu lumpur yang mempunyai pekarangan tengah terbuka di satu sisi dengan dua deret tiang pohon kurma dan atap dari lumpur serta daun kurma. Sedikit bagian beratap depan diperuntukkan bagi kaum miskin dan ada ruangan-ruangan berpintu yang dibangun di samping pekarangan, sebagai tempat tinggal Nabi Muhammad Saw dan keluarganya. Masjid tersebut yang lalu diberi nama “Masjid Nabawi” di kota Madinah merupakan tempat masyarakat yang penuh kesibukan, tempat manusia dan hewan berlindung, dan tempat khutbah disampaikan serta tamu dijamu.[31]
Perjalanan hidup Rasulullah Muhammad Saw ini semakin memperkuat dan menambah kebenaran dalam ayat QS. Al-Ahzab: 21 yang berbunyi, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”. Ayat ini dengan jelas membahas peran atau fungsi Nabi Muhammad Saw sebagai “Uswatun Hasanah” (Suri Teladan yang Baik) bagi kita semua.[32] Demikianlah beliau dalam jejak sejarah yang ada berperan secara langsung di tengah para pengikut atau sahabatnya, sehingga suri keteladanan yang luhur dapat disaksikan langsung oleh mereka yang berada di sekitarnya. Entah mereka yang akhirnya memilih untuk menjadi pemeluk Islam maupun mereka yang sempat serta tetap memusuhinya, secara historis Nabi Muhammad Saw menunjukkan keluhuran dalam budi pekertinya sesama manusia.
KESIMPULAN
Contoh-contoh kasus yang diambil di atas memang diambil titik awalnya dari pada era sebelum masa kenabian Muhammad Saw dimulai, sehingga kita mendapatkan rangkaian berpikir yang jelas dalam aspek dimensional kehidupan beliau selain sebagai sosok yang diturunkan wahyu oleh Allah Swt. Suatu hal yang tidak boleh kita abaikan juga ialah bagaimana di dalam Islam, para nabi dan rasul bukanlah figur-figur “parsial” yang seolah lepas dari berbagai kebutuhan/hajat hidup diri mereka maupun orang-orang di sekitarnya. Sederhananya, kita telah membaca Rasulullah yang menjalani profesi sebagai seorang penggembala suruhan sampai kemudian melakukan perdagangan, sebagaimana pula yang pernah ditempuh Musa AS dan Isa AS. Maka kita dapati pula bagaimana semisal Nabi Daud AS yang menjadi pengrajin baju perang (zirah), Nabi Yusuf sebagai bendaharawan negeri Mesir, Nabi Zakaria bekerja sebagai tukang kayu, Nabi Idris menjadi penjahit, dan Nabi Ibrahim yang terampil membuat gerabah kebutuhan rumah tangga. Bukti-bukti historis itu menempatkan Rasulullah sebagai seorang role model bagi aspek manajerial yang juga dapat dipedomani dalam bidang pendidikan. Seorang manajer pendidikan yang baik dituntut memiliki memiliki kompleksitas kemampuan untuk dapat mengatur segala aspek demi berjalannya pendidikan secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. (2014). Piagam Madinah ; Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia. Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.
Aizid, Rizem. (2018). The Great Sahaba. Yogyakarta : Laksana.
Anam, Wahidul. (2016). Dekonstruksi Kaidah ‘Adalah Al-Sahabah;Implikasinya Terhadap Studi Ilmu Hadits. Yogyakarta : LKiS.
Arifin, Bey. (1996). Rangkaian Cerita dalam Al-Qur’an. Bandung : Al-Ma’arif.
Armstrong, Karen. (2014). Sejarah Islam : Telaah Ringkas-Komprehensif Perkembangan Islam Sepanjang Zaman. Bandung : Pustaka Mizan.
Bokhari, Raana, Mohammad Seddon. (2011). Ensiklopedia Islam. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Guefara, Rahmat Lutfi, Soffan Rizqi. (2020). Mirroring Rasulullah dalam Mendidik Akhlak Para Sahabat : Metode Neuro Linguistik Program. Semarang : Bimalukar Kreativa.
Lings, Martin. (2010). Muhammad : Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Terj. Qomaruddin SF. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Muhammad Khalid, Khalid. (2008). Nabi Muhammad Juga Manusia. Jakarta : Mushaf.
Pambudi, Dwi Santosa. (2021). Etika Bisnis Islam : Meneladani Etos Kerja Nabi dan Rasul. Yogyakarta : UAD Press.
Pramasto, Arafah, Ryzky Yan Deriza. (2022). Memetik dari Pohon Sejarah: Hikmah Berserakan dari Penjuru Dunia. Jakarta : One Peach Media.
Pramasto, Arafah, Baroqah Meyrynaldy. (2022). Renungan Sejarah : Timur ke Barat, Vice Versa. Bandung : Jejak Publisher.
Pramasto, Arafah, dkk. (2018). Makna Sejarah Bumi Emas (Kumpulan Artikel Sumatera Selatan dan Tema-tema Lainnya). Bandung : Ellunar Publisher.
Purnomo, Mukhlisin. (2012). Sejarah Kitab-kitab Suci. Yogyakarta : Forum.
Rosidin (Ed.). (2016). Mata Air Dakwah. Malang : Media Sutra Atiga.
Soewadji, Jusuf. (2012). Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta : Penerbit Mitra Wacana Media.
Sudarsono, Susmayati. (1993). Kakbah Pemersatu Umat Islam. Jakarta : Asdi Mahasatya.
Sujarweni, V. Wiratna. (2019). Metodologi Penelitian: Lengkap, Praktis, dan Mudah Dipahami. Yogyakarta : Pustakabarupress.
Suryabrata, Sumadi. (1983). Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali.
Syamsi , Indra. (2022). Hanya Satu Kata, Allah. Malang : Literasi Nusantara Abadi.
Zuhairini, dkk. (2008) Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
[1] Sudarsono dan Susmayati. Kakbah Pemersatu Umat Islam. Jakarta: Asdi Mahasatya. 1993. 48-49.
[2] Arafah Pramasto dan Ryzky Yan Deriza. Memetik dari Pohon Sejarah: Hikmah Berserakan dari Penjuru Dunia. Jakarta: One Peach Media. 2022. 43.
[3] Bey Arifin. Rangkaian Cerita dalam Al-Qur’an. Bandung: Al-Ma’arif. 1996. 340.
[4] Sudarsono dan Susmayati. Kakbah Pemersatu Umat Islam. Jakarta: Asdi Mahasatya. 1993. 49.
[5] Sumadi Suryabrata. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali. 1983. 19-20.
[6] Jusuf Soewadji. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. 2012. 21.
[7] V. Wiratna Sujarweni. Metodologi Penelitian: Lengkap, Praktis, dan Mudah Dipahami. Yogyakarta: Pustakabarupress. 2019. 25.
[8] Sumadi Suryabrata. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali. 1983. 18.
[9] Khalid Muhammad Khalid. Nabi Muhammad Juga Manusia. Jakarta: Mushaf. 2008. 4.
[10] Arafah Pramasto & Baroqah Meyrynaldy. Renungan Sejarah:Timur ke Barat, Vice Versa. Bandung:Jejak Publisher. 2022. 102.
[11] Bey Arifin. Rangkaian Cerita dalam Al-Qur’an. Bandung: Al-Ma’arif. 1996. 150.
[12] Dwi Santosa Pambudi. Etika Bisnis Islam: Meneladani Etos Kerja Nabi dan Rasul. Yogyakarta:UAD Press. 2021. 35.
[13] Arafah Pramasto & Baroqah Meyrynaldy, Renungan Sejarah:Timur ke Barat, Vice Versa, Bandung:Jejak Publisher. 2022. 102.
[14] Sudarsono dan Susmayati. Kakbah Pemersatu Umat Islam. Jakarta: Asdi Mahasatya. 1993. 72-73.
[15] Arafah Pramasto & Baroqah Meyrynaldy, Renungan Sejarah:Timur ke Barat, Vice Versa, h.102.
[16] Mukhlisin Purnomo. Sejarah Kitab-kitab Suci. Yogyakarta: Forum. 2012. 266.
[17] Arafah Pramasto & Baroqah Meyrynaldy, Renungan Sejarah:Timur ke Barat, Vice Versa, Bandung:Jejak Publisher. 2022. 102
[18] Martin Lings. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Terj. Qomaruddin SF. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2010. 231-232.
[19] Martin Lings. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Terj. Qomaruddin SF. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2010. 231-232. 103-104.
[20] Arafah Pramasto, dkk. Makna Sejarah Bumi Emas (Kumpulan Artikel Sumatera Selatan dan Tema-tema Lainnya). Bandung:Ellunar Publisher. 2018. 10.
[21] Zainal Abidin Ahmad. Piagam Madinah;Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia. Jakarta:Pustaka Al-Kautsar. 2014. 151.
[22] Karen Armstrong, Sejarah Islam : Telaah Ringkas-Komprehensif Perkembangan Islam Sepanjang Zaman. Bandung : Pustaka Mizan. 2014. 15-16.
[23] Rahmat Lutfi Guefara & Soffan Rizqi. Mirroring Rasulullah dalam Mendidik Akhlak Para Sahabat:Metode Neuro Linguistik Program. Semarang:Bimalukar Kreativa. 2020. 26.
[24] Wahidul Anam. Dekonstruksi Kaidah ‘Adalah Al-Sahabah;Implikasinya Terhadap Studi Ilmu Hadits. Yogyakarta:LKiS. 2016. 32.
[25] Indra Syamsi. Hanya Satu Kata, Allah. Malang:Literasi Nusantara Abadi. 2022. 144.
[26] Rizem Aizid. The Great Sahaba. Yogyakarta: Laksana. 2018. 447.
[27] Indra Syamsi. Hanya Satu Kata, Allah. Malang:Literasi Nusantara Abadi. 2022. 144.
[28] Sudarsono dan Susmayati. Kakbah Pemersatu Umat Islam. Jakarta: Asdi Mahasatya. 1993. 88.
[29] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. 28
[30] Bey Arifin. Rangkaian Cerita dalam Al-Qur’an. Bandung: Al-Ma’arif. 1996. 363.
[31] Raana Bokhari & Mohammad Seddon. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2011. 177.
[32] Rosidin (Ed.). Mata Air Dakwah. Malang: Media Sutra Atiga. 2016. 8.